Pemicu
Krisis Ekonomi 1997
1) Dianutnya sistim devisa yang
terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas
dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di
atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim
devisa bebas dengan rupiah yang
konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesar besarnya untuk orang bermain
di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening
valas di dalam negeri atau di
luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga
bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.
2) Tingkat depresiasi rupiah yang
relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1988 hingga
1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah
secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan
pendapatan penduduk dalam nilai
US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam
Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan
produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga proteksi
industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan produk
dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya
lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi
kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini
sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak
mencerminkan nilai tukar yang nyata.
3) Akar dari segala permasalahan
adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan
menengah sehingga nilai tukar
rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang
yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistim perbankan nasional yang
lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah
mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi
pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding
official debt). Ada tiga pihak yang bersalah di sini, pemerintah, kreditur
dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang
salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued
dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi
relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya,
tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian
dana ke luar negeri dan agar
masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah.
Jadi di sini pemerintah dihadapi
dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan
pengusaha selama tidak terjadi
devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga
memberi rasa aman dan orang terus
meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin
besar. Dengan demikian pengusaha
hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh
pemerintah. Selain itu pemerintah
sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap
utang-utang swasta luar negeri
ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah
dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi
debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar
negeri dalam jumlah besar ini, di
samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu
gejala yang dalam teori ekonomi
dikenal sebagai fallacy of thinking2 , di mana pengusaha
beramai-ramai melakukan investasi
di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah
jenuh, karena masing-masing pengusaha
hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak
memperhitungkan gerakan pengusaha
lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut
bersalah, karena kurang hati-hati
dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi
keadaan . Jadi sudah sewajarnya,
jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari kerugian yang
diderita oleh debitur. Kalau masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri
pemerintah saja, meskipun masalahnya juga cukup berat karena selama
bertahun-tahun telah terjadi net capital outflow3 yang kian lama
kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan bunga, namun masih bisa
diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luar negeri dari sumber-sumber
lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeri pemerintah sifatnya
jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat bunganya relatif rendah,
dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru. Pada awal Mei 1998 besarnya
utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$
63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian
besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge. Sebagian
orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih biaya bunga
antara dalam negeri dan luar negeri, misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran
utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh
kinerja ekspor yang melemah . Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar
rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan
menyulitkan pembayaran kembalinya. Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat
yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang dikelola secara tidak prudent,
yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan untuk proyek-proyek
pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga jauh melampaui
daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali.
Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang dilakukan oleh
sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak menghasilkan
devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel,
resort pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan
realestat
. Proyek-proyek besar ini umumnya
tidak menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri,
maka sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar
kembali utang luar negeri. Krugman melihat bahwa para financial
intermediaries juga berperan di Thailand dan Korea Selatan dengan moral
nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia Timur. Mereka
meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi investasi
berlebihan di sektor tanah). Mereka mulai mencari dollar AS untuk membayar
utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge
4) Permainan yang dilakukan oleh
spekulan asing yang dikenal sebagai hedge
funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang
dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang
memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini
mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil.
Para spekulan ini juga meminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar
pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi
di pasar valas karena tidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan
asing ikut berperan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas
pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini justru sekarang menderita
kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam jumlah cukup besar ketika kurs
masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan pengharapan ini adalah kurs
tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu mereka akan
menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS Namun pemicu adalah krisis moneter
kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang
terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia lainnya
termasuk Indonesia Krisis moneter yang
terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa
dipisahkan satu sama.
5) Kebijakan fiskal dan moneter
tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita
batas intervensi. Sistim ini
menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan
mengundang tindakan spekulasi
ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal. Terkesan tidak adanya
kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi
krisis dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan
pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi
kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat
6) Defisit neraca berjalan yang
semakin membesar, yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa
lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama
adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga
barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam
negeri.
7) Penanam modal asing portfolio
yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi keuntungan yang
besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif
stabil kemudian mulai menarik
dananya keluar dalam jumlah besar. Selisih tingkat suku bunga dalam negeri
dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang
relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat
devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan
banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah
melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar
negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas
surat-surat berharga Indonesia. Kesalahan juga terletak
pada investor luar negeri yang kurang
waspada dan meremehkan resiko. Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap
rupiah.
8) IMF tidak membantu sepenuh
hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang
dijanjikannya dengan alasan
pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara
sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda mengucurkan
bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia
makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang menjanjikan l.k. US$ 5 milyar
meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman IMF, sementara Brunei
Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan mencairkan dananya
sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan membantu
telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak
telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam
dan memperpanjang krisis.
9. Spekulan domestik ikut
bermain. Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri,
tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
10.Terjadi krisis kepercayaan dan
kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu
membeli dollar AS agar nilai
kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan
dari merosotnya nilai tukar
rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap
dollar AS makin lama makin besar.
Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak
tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri
mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997
hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena
ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu (World Bank, 1998:
1.4, 1.10). Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu yang
ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini
akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai
sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka
membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melaukan
investasi baru.
11. Terdapatnya keterkaitan yang
erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap
dollar AS. Setelah Plaza-Accord
tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata uang negara-negara Asia Timur melemah
terhadap yen Jepang, karena mata uang negaranegara Asia ini dipatok dengan
dollar AS. Daya saing negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang,
sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan relokasi dan investasi dalam jumlah
besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap
yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar AS
meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan. Di
lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang
mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun
masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan
perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi
sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/kelompok
tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan
perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di
berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil
nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang
dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor riil dalam
negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi sektor
riil saja, tidak memecahkan permasalahan.
Krisis pecah karena terdapat
ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan
jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan
tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi
krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri,membenahi
kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar
negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada
tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas
sosial dan politik.
Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka tercapainya stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi peningkatan kegiatan dunia usaha.
Secara garis besar, sejak tahun 1970, Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap mulai tahun 1970 sampai tahun 1978, sistem nilai tukar mengambang terkendali sejak tahun 1978, dan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system) sejak 14 Agustus 1997.
Dengan diberlakukannya sistem yang terakhir ini, nilai tukar rupiah sepenuhnya ditentukan oleh pasar sehingga kurs yang berlaku adalah benar-benar pencerminan keseimbangan antara kekuatan penawaran dan permintaan.
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia pada waktu-waktu tertentu melakukan sterilisasi di pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi gejolak kurs yang berlebihan.
Kebijakan Awal Mengatasi Kesulitan Likuiditas Perbankan Juli 1997 hingga Januari 1998
Menghadapi kesulitan perbankan, sejak pertengahan Agustus 1997 hingga akhir Desember 1997 Bank Indonesia mengambil kebijakan untuk memberikan kelonggaran fasilitas bantuan likuiditas kepada bank-bank berupa : Fasilitas Saldo Debet Giro pada Bank Indonesia, SBI-Repo Khusus, Fasilitas Diskonto (Fasdis), dan fasilitas surat berharga pasar uang (SBPU). Berikut rincian dari pelaksanaan kebijakan tersebut.
·
Dalam
rangka membantu mengatasi kesulitan likuiditas perbankan, Bank Indonesia
melalui rapat direksi pada tanggal 15 Agustus 1997 menetapkan kebijakan berupa
pemberian dispensasi kepada bank-bank yang memiliki saldo giro negatif (saldo
debet) di Bank Indonesia untuk tetap dapat ikut serta dalam kliring. Keputusan
ini diterapkan sampai meredanya gejolak pasar uang.
·
Karena
makin sulit mencari dana dari pasar uang antarbank, bank-bank dalam upayanya
untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dihadapi, cenderung menggantungkan
diri pada fasilitas saldo debet di Bank Indonesia. Oleh karena itu, Bank
Indonesia menetapkan kebijakan pengenaan suku bunga yang tinggi atas saldo
debet pada Bank Indonesia serta denda yang berat atas pelanggaran GWM.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong bank-bank berusaha dengan
sungguh-sungguh memelihara saldo positif yang cukup pada Bank Indonesia dan
sekaligus menghindari terjadinya saldo debet pada Bank Indonesia dengan
mengupayakan dana dari sumber-sumber lain. Di samping itu, Bank Indonesia
menetapkan penggunaan SBPU Khusus (SBPU-K) untuk penggantikan dan
mengonversikan saldo debet, Fasdis I, Fasdis I Repo dan Fasdis II. SBPU-K hanya
diberikan satu kali dan setelah itu tidak boleh terjadi lagi saldo debet
rekening bank pada Bank Indonesia.
·
Pemerintah
telah melakukan berbagai langkah penanggulangan. Namun, karena masalah
yang menimpa perekonomian masih terus meluas, maka pada 8 Oktober 1997
Pemerintah memutuskan untuk meminta bantuan kepada IMF dan menunjuk Profesor
Widjojo Nitisastro untuk mengkoordinasikan langkah-langkah penanganan terhadap
gejolak ekonomi yang berkembang. Kesepakatan antara Pemerintah dan
IMF bertalian dengan upaya mengatasi krisis dan restrukturisasi perbankan
tertuang dalam Memorandum on Economic and Financial Policies yang disampaikan
dengan surat Pemerintah kepada Managing Director IMF yang juga disebut Letter
of Intent (LoI). Program restrukturisasi perbankan untuk mengembalikan
kepercayaan terhadap perbankan yang disusun oleh Pemerintah dengan
bantuan teknis dari staf IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB)
diawali dengan LoI tanggal 31 Oktober 1997. Program restrukturisasi perbankan
dan keuangan selain secara rinci disebutkan dalam LoI tersebut, juga dimuat
dalam suatu pengkajian program untuk memperkuat rehabilitasi sektor perbankan
secara menyeluruh yang disusun oleh IMF.
Dampak Krisis 1997 terhadap Pasar
KeuanganDi pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.
Di pasar
uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8
persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998
(dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis),
menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative
spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor
riil.
1 komentar:
Saya ingin semua orang untuk membaca pesan ini dengan hati-hati. Saya sangat senang untuk membuat kesaksian bagaimana aku pinjaman saya di pemberi pinjaman kredit legit, saya telah menderita di tangan kreditur internet palsu di situs web tertentu, saya sudah diterapkan di beberapa perusahaan pinjaman di sini dan semua yang mereka lakukan adalah meminta saya untuk pembayaran dan setelah pembayaran, saya tidak akan mendapatkan pinjaman dari mereka, mereka adalah orang-orang palsu dari Inggris dan bahkan India. Aku merasa sakit karena utang saya, dan saya membayar pembayaran lain untuk mendapatkan pinjaman untuk membuat saya utang yang lebih besar. Saya sangat senang ketika teman saya mengatakan kepada saya bahwa dia mendapat pinjaman dari internet, dia adalah orang yang mengatakan kepada saya tentang Nicole Morgan dari NICOLE MORGAN KREDIT PERUSAHAAN, dan saya mengajukan pinjaman sebesar 800 juta, saya mengikuti semua prosedur, saya berpikir bahwa saya tidak akan mendapatkan pinjaman, tapi aku sangat senang ketika pinjaman saya disetujui dan dikirim langsung ke rekening bank saya dalam waktu 2 hari menerapkan. Saya telah membayar semua hutang saya sekarang dan saya stabil secara finansial ketika saya menulis pesan ini. Jadi, jika salah satu dari Anda berada di sini untuk mengajukan pinjaman, Anda harus menghubungi Nicole Morgan di email-nya, mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman kredit nyata, yang lain adalah palsu. Cukup ikuti semua prosedur di Nicole Morgan dan saya meyakinkan Anda bahwa Anda akan mendapatkan pinjaman, bijaksana sehingga Anda tidak akan kehilangan uang seperti saya, ibu kontak Nicole Morgan jika Anda benar-benar membutuhkan pinjaman nicolemorganloan@gmail.com
hubungi saya juga jadi saya bisa memberikan informasi lebih lanjut dan guardiance hadijaboften2@gmail.com
Terima kasih.
Posting Komentar